Sekian lama aku menapakkan langkah kaki. Berjalan menyusuri luasnya bumi ini. Hingga, aku tetap berdiri sampai kini di hari ini. Jeritan hati dan kisah sedih setiap saat mengelilingi. Seakan-akan, membuatku hanyut terbawa arus gelombang lautan lepas yang tak tentu arah. Ke barat, timur, bahkan mungkin harus siap terjungkir dan terpental ke atas dan ke bawah saat badai datang.
Namun, di balik semua itu, aku hanyalah seseorang yang mengharapkan sebentang keajaiban. Seonggok harapan yang senantiasa membuatku sanggup untuk tetap berjalan. Juga, melaju kencang menuju arah yang bahkan aku pun tak tahu ke mana. Mungkin, ke dunia yang lebih bermakna dan penuh realita.
Semua itu akan kujalani, sekalipun harus menerjang tebing nan curam. Kuharap, apa yang terjadi itu semakin menguatkanku tentang arti dalam hidup ini. Sekadar membuatku bisa tetap berdiri dengan tangguh dan tegar demi melawan asa ketidakberdayaan di atas guratan mendendam. Tapi, pada siapa?
Kekacauan sungguh terasa. Kehancuran di depan mata pun kian tak terelakkan. Bahkan, rasanya lebih menyakitkan ketika mencoba melakukan perlawanan terhadap bara api hati yang berselimut kasih sayang.
"Ayah, Ayah!" jerit ingatanku. Dahiku pun tak ayal mengernyit seketika. "Orang bilang, sosok ayah adalah suri tauladan keluarga. Benarkah?" tanyaku lagi.
Sejenak, aku merenung. Tak pernah sekali pun terlintas dalam bayangan bahwa apa yang baru aku pikirkan itu tak pernah kudapatkan. Itulah kenyataan hidupku. Kenyataan pahit yang telah tertulis oleh pena yang amat hitam. Keberingasan sosok suri tauladan yang menodai kertas putih suci dengan kejam. Bahkan, memaksaku menelan kepahitan yang tak pernah sedikit pun kuharapkan.
Perjalanan yang kualami semakin hari terasa semakin redup. Ironis makin mengiris saat 11 Desember tahun lalu tiba. Saat itu, di siang bolong kudengar suara geluduk berdentam. Hujan deras pun menghantam tabir surya. Suasana gulita. Sinar mentari tak lagi dapat kugapai. Kehangatan tak lagi bisa kurengkuh. Ibu telah tiada.
"Surga di telapak kaki ibu." Tragis jika teringat kalimat itu. Tak terbendung lagi, meneteslah bulir-bulir bening membasahi kedua pipiku.
Saat-saat genting itu masih teringat jelas di memori. Kebahagiaan tercerai berai, membagi cinta sebagai jurang menuju titik nadir kebinasaan. Melukai perasaan. Mungkin, untuk seorang sepertiku, semua itu adalah kesalahan manusiawi. Tapi, untuk hati yang terbaring tak bernyawa di sana, mungkin itu adalah sebuah kemungkaran yang tak semestinya diterima semasa di dunia.
Tatkala itu, aku tak ingin tinggal diam. Harus kutelusuri jejak ketidakadilan atas nama kasih sayang sejati seutuhnya. Entahlah, berapa lama lagi aku harus terbelenggu dalam fatamorgana seperti ini. Mungkinkah, ini adalah saat aku merasakan penjara dunia? Kehidupan yang tertulis di selembar suratan takdir rahasia untuk meraih keajaiban semata.
Subyek: Suratan Rahasia Keajaiban 
Sun Jan 27, 2008 6:56 pm