Saat kutinggal pergi ke Hong Kong dua tahun lalu, ia berjanji hendak setia menungguku. Namun, ia tak kutemukan saat aku cuti pulang ke kampung halaman. Belakangan aku tahu, ia sudah menikah dan bekerja di Korea. Lalu, kenapa ia mesti ke Hong Kong dan mengaku mencariku? Sekadar minta maaf?
Sebelum memutuskan berangkat ke Hong Kong, aku sedang PDKT (pendekatan) dengan cowok tetangga. Namanya Fahmi, panggil saja begitu. Jika dibandingkan dengan pacar sekolahku, teman mainku sejak kecil itu sebenarnya tidak terlalu cakep. Tetapi karena keseringan jalan bareng, ketika ada kegiatan di kampung atau ketika sama-sama melayat, kami sering bersama. Lama-lama, ada perasaan lain. Perasaan yang sejatinya tak kuharapkan kehadirannya. Sadar, dia sudah punya pacar. Tetapi begitulah, Fahmi seolah memiliki kharisma luar biasa yang bisa menarik simpatiku.
Aku memang mengaguminya, terlebih ketika suatu hari ia terang-terangan mengaku menyukaiku. Saat itu aku menolak, menasihati dia supaya nggak nyakitin pacarnya. Tetapi ia bilang sudah putus, meski masih sering berkomunikasi. Akhirnya, sekitar dua bulan kemudian – setelah aku tak pernah lagi melihatnya jalan bareng dengan pacarnya, yang juga temanku – aku pun menerima cinta Fahmi.
Prihatin dengan kondisi keluarga, aku pamit berangkat ke Hong Kong. Dengan Fahmi, aku juga pamit secara baik-baik. Masih terngiang di telingaku, ia berjanji akan setia menunggu. Saat itu, aku jadi bertambah semangat melangkah meninggalkan orang-orang tersayang menuju Hong Kong, negara tujuan.
Setelah dua tahun, aku cuti dua minggu untuk mudik ke kampung halaman. Tentu saja, yang pertama kali kucari adalah wajah keluarga, menyusul kemudian wajah Fahmi. Betapa aku merindukan dia setelah sekian lama tak bersua, juga tak ada kontak. Aku selalu menunggu bisa bersama, menatapnya meski hanya sesaat. Aku rindu, sungguh aku rindu dia. Dia yang selalu memutar hari-hariku setiap waktu.
Namun, betapa kecewanya aku. Wajah yang kurindukan ternyata sudah lama meninggalkan kampung halaman. Tak satu pun dari keluarga maupun teman-teman yang tahu keberadaan Fahmi kini. Sepengetahuan mereka, Fahmi pergi merantau. Tetapi ke mana? ”Tak tahu,” sahut mereka.
Batinku menangis, tiada berhenti memanggil namanya. ”Di manakah gerangan engkau kini, Fahmi?” Tidakkah ia mendengar panggilan hatiku? Seaat itu, ada rasa sakit yang menyerang relung batinku. Rasa rindu, seketika berubah jadi benci. Aku jadi sangat membenci Fahmi, yang tega pergi tanpa berkabar sedikit pun pada semua orang, termasuk teman-teman se-kampung.
Sebagian teman bilang, Fahmi sudah menikah dan ikut istrinya ke Padang. Ada yang menimpali, katanya, Fahmi sudah punya anak satu. Hatiku semakin menjerit. Kerinduanku tiba-tiba berubah menjadi suatu kebencian dan dendam. Mana janji Fahmi yang ingin setia menunggu? Aku dan dia memang belum bertunangan, apalagi menikah. Tetapi madu manis cinta telah aku nikmati bersama. Betapa aku tak ingin kehilangan Fahmi.
Sejuta lara akhirnya kubawa ke Hong Kong. Bagaimana pun, aku merasa sudah tak ada harapan berjumpa dengan teman kecilku itu. Fahmi telah pergi, jauh sekali dari hati. Aku tak ingin mengingatnya lagi. Sebab, mengingatnya hanya membuatku sakit hati.
Tetapi, apa yang terjadi setelah aku kembali ke Hong Kong? Pada suatu hari Minggu, saat aku jalan-jalan ke ”kampus” Victori, aku bertemu dia! Ya, Tuhan. Mula-mula aku nggak yakin, badan yang tertutup jaket hitam itu Fahmi. Aku berharap, pandangan mataku salah pada saat melihat cowok bertopi Nike itu melintas di depan Seven Eleven.
Saat itu aku ingin mendekat dan menyapa cowok yang ditemani seorang perempuan itu. Tapi aku ragu. Jangan-jangan pikiranku salah. Akhirnya, aku pura-pura jalan melintas di depan dia. Duh, pembaca....ternyata cowok itu memanggil namaku, tanpa menghiraukan perempuan di sampingnya. Aku melongo, tak bisa menyembunyikan keterkejutan. ”Fahmi...?” Hanya itu yang meluncur di sela-sela bibirku, sebelum akhirnya membenamkan wajahku di dadanya.
”Aku mencarimu,” kata Fahmi, yang ternyata mengambil cuti ke Hong Kong setelah bekerja sekian lama di Korea.
”Untuk apa?” kataku sengit.
”Untuk meminta maaf.”
Pertemuan itu membawaku pada jalanan kenangan masa lalu. Entahlah, aku tak bisa mengelak dari pertemuan kedua itu. Aku masih menyayangi dan membutuhkannya. Aku tahu, perasaanku itu tak akan hilang sampai kapan pun. Tetapi, kenapa saat aku mampu melupakannya, justru ada pertemuan itu? Kenapa?
Ya Tuhan, bantulah aku, beri aku kekuatan untuk menahan perasaan hatiku, agar masa lalu tak tercipta ulang. Apalagi, ia jujur mengaku telah menikah. Sedangkan perempuan yang menemaninya tadi adalah pacar dari temannya yang juga refreshing ke Hong Kong. Dia bilang, pacar teman perempuan itu sedang ke kamar mandi.
Aku sadar, mengharapkan Fahmi kelak menjadi pendampingku ibarat mengharap sesuatu yang tak pasti. Aku tak ingin mengharapkannya lagi. Tidak boleh! Aku ingin rasa cintaku kepadanya hilang musnah. Tetapi, bagaimana aku bisa menghindari dan mengakhiri rasa sayang ini? Bagaimana? Bukankah ia masih bersedia mencariku, meski ia bilang sudah beristri? Bukankah itu bukti ia masih menyayangiku?
Hati ini terkadang ingin meronta, memaksakan hasratku untuk dapat memilikinya, meski itu hadir hanya dalam mimpi. Tetapi, izinkanlah aku untuk menikmati indahnya dunia mimpi. Sebelum aku terjaga dan sadar bahwa itu hanyalah angan palsu dan semu, yang akhirnya berlalu bersama sang waktu.
Aku semakin terpuruk, rapuh, dan lemah oleh kejujuran Fahmi. ”Istriku juga bekerja di sini.” Lidahku kelu, tak bisa lagi kutahan laju air mataku. Di mana janji Fahmi yang katanya mau setia? Tidakkah Fahmi menyadari, kejujuran itu telah menorehkan rasa perih dalam hatiku? Fahmi telah membuatku kecewa. Haruskah aku membiarkan diri hanyut dalam rasa cinta yang tiada pernah bisa ditepis ini?
Oh, Fahmi...begitu kejamnya kamu! Kamu yang pernah kupuja, kubanggakan, kunantikan, ternyata telah memilih perempuan lain. Lalu, kenapa kau bilang mencari aku ke Hong Kong? Fahmi pasti bohong kepadaku. Ia ke sini untuk menjumpai istrinya.
Ke mana kini aku mesti berlari membawa luka lara jiwa ini? Ke diskotek, minuman keras, ataukah aku mesti bersujud di kaki Tuhan? Betapa sakit hati ini karena ulahmu, Fahmi. Kata maaf yang kau ucapkan, tidaklah bisa menyembuhkan sakit hati ini. Apalagi setelah kau kenalkan aku dengan istrimu, lukaku semakin menjadi. Haruskah kurebut dirimu kembali?
Sebelum kembali ke Korea, pada pertemuan kedua, Fahmi hanya meninggalkanku surat bertinta biru. Air mataku semakin deras membacanya. Inilah beberapa alinea suratnya:
”Cukup hanya denganmu aku menanamkan kesalahan. Jujur, perkawinan telah membelenggu, malah lebih sakit yang kau rasakan saat ini. Sebetulnya, di lubuk hatiku yang terdalam aku tak dapat melupakanmu. Tapi biarlah…aku nggak akan mau lagi membuatmu terluka untuk yang kesekian kali. Biarlah aku menyimpan kenangan lalu di hatiku. Carilah penggantiku untukku. Meskipun mereka bukanlah aku. Dan dia bukanlah kamu. Biarlah, kita berusaha mencoba untuk belajar menyayangi cinta baru. Marilah kita belajar menerima kenyataan.
Jodoh mungkin bukan milik kita. Mungkin, Tuhan mempunyai rencana lain yang tentu lebih baik untukmu. Ya, memang benar katamu. Cinta tidak harus memiliki. Biarlah terluka di saat ini bila memang itu yang terbaik untuk kita. Akupun akan berusaha berlalu dalam hidupmu, meski berat rasanya. Toh, itu harus kita relakan.
Di sini aku curahkan isi hatiku, di saat aku ingin mengenangmu. Sekadar untuk berusaha melupakanmu. Biarlah semua kusimpan abadi di sanubariku. Ku selalu doakan agar kau dekat atau secepatnya temui pengganti cinta sejatimu. Yakinlah pada dirimu, jodoh akan menghampirimu bersama kebahagiaan yang datang padamu. Kuharap, kau bisa kembali seperti yang dulu: tertawa lepas dan bernyanyi bebas.”
(Dituturkan Wati lewat surat dan disusun oleh Kristina DS dari Apakabar)